Akibat Merusak Alam
Alam merupakan bagian dari
bumi yang menjadi sumber kehidupan semua makhluk hidup, termasuk
manusia. Manusia mengolah alam dengan alat kerjanya sehingga dapat
berproduksi untuk bertahan hidup. Dengan bertambahnya kemampuan
produksi, bertambah pula kemampuan manusia menaklukkan alam. Begitu
besar pengaruh manusia terhadap alam sehingga kehidupan manusia tak bisa
dipisahkan dari alam. Untuk itulah dibutuhkan keseimbangan agar alam
dapat terus bereproduksi demi kelestarian dirinya, sekaligus menenuhi
kebutuhan makhluk hidup lainnya.
Bagaimana agar alam terus lestari, sementara pada dasarnya, lambat
laun alam sendiri pasti akan mengalami perubahan kualitas yang menurun?
Alam, pada satu titik, akan tidak sanggup lagi menahan kohesifitas bumi
karena alam merupakan bagian dari bumi yang bergerak sehingga segala
sesuatu yang ada di bumi, termasuk alam, juga ikut bergerak. Gerak hukum
alam ini berjalan lambat, bisa jutaan tahun lamanya, mengikuti umur
bumi. Namun, akibat ulah manusia, bumi menjadi cepat mengalami
perubahan, karena alam telah dieksploitasi dan dijadikan komoditas demi
tujuan pertumbuhan ekonomi.
Di dalam masyarakat dunia yang hubungan sosialnya ditentukan oleh
kepemilikan terhadap alat produksi, produksi barang (dan jasa) tak akan
ada kontrol sosialnya. Kelimpahan produksi hasil kerja manusia mengelola
alam tak diabdikan untuk kemakmuran dan kemajuan mayoritas manusia
serta melestarikan daya topang alam, melainkan untuk keberlangsungan
akumulasi keuntungan belaka. Sehingga tak heran, di dalam sistem
semacam itu, seberapapun majunya pengetahuan dan alat kerja manusia
tidak ada sangkut pautnya dengan pemerataan kesejahteraan dan
keberlanjutan hidup bumi.
Itulah bencana besar kemanusiaan di dalam sebuah sistem masyarakat
kapitalisme saat ini. Segelintir manusia yang bermodal besar, pemilik
pabrik-pabrik dan perusahaan raksasa, memiliki kepentingan lebih hebat
dalam mengeksploitasi sumber daya alam, sekadar demi akumulasi
keuntungan dan perluasan modalnya. Mereka tidak memperdulikan syarat
keseimbangan lingkungan, karena yang paling penting bagi mereka adalah
sebanyak-banyaknya produksi, tak perduli sesuai atau tidak dengan
kebutuhan dan daya jangkau mayoritas rakyat, atau merusak masa depan
lingkungan alam. Itulah konsekuensi fundamental sistem kapitalisme yang
diterapkan saat ini, penyebab utama kerusakan alam.
Proses dialektika penaklukan manusia terhadap alam tergantung pada
tingkat perkembangan tenaga-tenaga produktif (manusia dan alat
kerjanya), karakter sistem sosial, dan tingkat perkembangan masyarakat
dan manusia itu sendiri. Semakin maju alat kerja manusia, semakin besar
kemungkinan penaklukan alam, semakin besar pula potensi pengrusakannya.
Pengrusakan atau pelestarian alam adalah pilihan yang hanya dapat
terjadi pada karakter sistem ekonomi dan hubungan sosial tertentu. Dan
kapitalisme adalah hubungan ekonomi dan sosial yang memungkinkan
pengrusakan lingkungan terjadi secara massal dan cepat. Namun,
perkembangan pengetahuan dan teknologi dalam kapitalisme tersebut,
sekaligus, memberikan kemungkinan manusia mengembangkan segala
kreativitasnya untuk memperbaiki kerusakan alam.
1. Kerusakan alam
Seperti kapitalisme, lingkungan pun sedang mengalami krisis.
Penetapan status krisis lingkungan sudah berlangsung semenjak tiga
dekade belakangan ini. Krisis yang sedang berjalan ini dapat dilihat
dari cepatnya perubahan iklim akibat pemanasan global dan semakin
bertambahnya efek rumah kaca dan polusi gas CO2 yang paling besar
dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil. Aktivitas pabrik,
mesin-mesin, dan alat transportasi yang diproduksi saat ini adalah
penyumbang terbesar CO2.
Menurut penelitian, kerusakan dan pencemaran lingkungan 30 tahun
terakhir jauh melampaui kerusakan lingkungan yang disebabkan aktivitas
manusia selama ribuan tahun lalu. Apalagi dengan berkembang pesatnya
pasar akibat kebijakan neoliberal yang digalakkan oleh seluruh perangkat
ekonomi kapitalisme, khususnya WTO, IMF, ADB dan Bank Dunia, serta
berbagai perjanjian perdagangan bebas selama lebih dari satu dekade ini,
yang dilegitimasi oleh rejim pendukung investasi tanpa berpikir
panjang.
Logika akumulasi keuntungan dan modal, dengan memperdalam eksploitasi
manusia dan alam (anarkisme produksi atau produksi tanpa kontrol
sosial), menyebabkan overproduksi kapitalisme. Pertumbuhan ekonomi
bermakna peningkatan konsumsi dan produksi komoditas industri tanpa
pertimbangan masa depan. Akibat logika semacam inilah alam tak lagi
mampu menopang kehidupan manusia di masa yang akan datang. Bahkan para
aktivis lingkungan menyatakan, bahwa, demi mengembalikan kondisi alam
seperti semula, menghendaki pertumbuhan ekonomi nol persen, atau dikenal
sebagai zero growth.
Krisis ditandai oleh fakta bahwa sekitar 29% lahan bumi telah
mengalami penggurunan, 6% lainnya dikategorikan mengalami penggurunan
yang parah. Hutan tropis yang mencakup 6% luas permukaan bumi (sebagian
besar terletak di Brazil dan Indonesia), namun memiliki keanekaragaman
hayati hingga sekitar 50% dari seluruh jumlah spesies yang ada, kini 7,6
sampai 10 juta hektar pertahunnya menjadi musnah (Todaro, 1995:
275-277). Kehancuran hutan (deforestasi) semakin hari semakin besar
jumlahnya, dan dilegalisasi oleh kebijakan negara. Kebijakan tersebut
antara lain dalam bentuk penjualan hutan yang melegitimasi jutaan hektar
hutan dibabat habis oleh para pemilik modal.
Di
Indonesia tercermin dalam peraturan Hak Pengelolaan Hutan (Hak
Penggusuran Hutan). Di Brasil pun demikian dengan pelelangan hutan
Amazon kepada perusahaan swasta untuk penebangan kayu. Berawal dari satu
juta hektar, hingga diperkirakan meningkat 11 juta hektar dalam lima
tahun kedepan.
Menurut data, selain hutan, keanekaragaman hayati laut termasuk
terumbu karang, adalah penyerap gas karbondioksida serta gas-gas
penyebab efek rumah kaca, yang mengubahnya menjadi oksigen untuk
kemudian dilepaskan ke bumi. Namun, terumbu karang saat ini pun telah
banyak yang rusak. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan
tahun 2010, dari total 85 ribu kilometer persegi luas terumbu karang
Indonesia sekitar 40 persennya rusak. Pada studi yang diungkap
Wilkinson, ahli terumbu karang dunia, pada tahun 1992, akan terjadi
penurunan 40-70% terumbu karang dunia pada 10-40 tahun mendatang akibat
ulah manusia.
Pemanasan global juga telah membuat es di Kutub Utara mencair.
Bentangan es Kutub Utara berfungsi sebagai cermin yang menangkap 90%
sinar matahari dan mengembalikan atau memantulkan sinarnya kembali
sehingga kuantitas sinar matahari yang diserap bumi hanya 10%. Lapisan
es Kutub Utara juga menyimpan karbon dan metana dalam jumlah besar. Bila
es mencair, maka kedua gas rumah kaca ini akan dilepaskan ke atmosfer.
Lapisan es Kutub Utara mengandung 2 kali lipat jumlah karbon yang ada di
atmosfer. Penelitian dua puluh lebih ilmuwan lingkungan yang dikepalai
oleh Profesor Ted Schuur, dari University of Florida, yang dimuat dalam
jurnal Bioscience edisi September 2008, menunjukkan bahwa 1.672 miliar
metrik ton karbon terkurung di bawah lapisan es, dan jumlah ini dua kali
lipat dari 780 miliar ton karbon yang ada di atmosfer saat ini.
Tingkat pertumbuhan industri menyebabkan punumpukan
karbondioksida di atmosfer. Akibatnya suhu permukaan bumi naik rata-rata
antara 1,5-4,5 derajat celcius, bahkan menurut ilmuwan sampai 6 derajat
celcius, sehingga memungkinkan kenaikan permukaan air laut antara
25-140 centimeter sebagai konsekuensi dari mencairnya es di daerah
kutub. Sir David King, penasehat pemerintah Inggris bidang Sains dan
beberapa peneliti lainnya, memprediksikan jika es di Greenland habis
meleleh maka permukaan laut akan naik 6-7 meter. Jika Antartika meleleh,
naiknya menjadi 110 meter dan kota-kota di daerah pesisir, apalagi di
bawah permukaan laut, akan lebih dulu menghilang, termasuk London dan
New York. Hal ini mengancam penduduk di kutub, punahnya ekosistem laut,
dan 1,6 milyar penduduk dunia terancam punah.
Para ahli yang tergabung dalam NOAA (National Oceanic and Atmospheric
Administration) memperkirakan es di Kutub Utara akan mencair seluruhnya
dalam waktu tidak terlalu lama lagi. ”Kalau tidak ada upaya pencegahan
pemanasan global, es di Kutub Utara dapat dipastikan akan meleleh lebih
cepat dari waktu yang diperkirakan sebelumnya. Tidak akan lama lagi akan
terjadi,” ujar peneliti kepala Ekspedisi Kutub Utara Jane Ferrigno.
Dalam pertemuan UN Climate Panel, memproyeksikan temperatur atmosfer
dunia akan naik 1,8 sampai 4,0
oC akibat buangan gas rumah
kaca. Bila hal ini dibiarkan terus, ujar Jane Ferrigno, akibat yang
lebih dahsyat akan terjadi melebihi bencana badai Tsunami beberapa waktu
lalu. Selain banjir, kemarau menyengat dan gelombang arus panas
disertai badai akan menyapu dataran rendah di beberapa belahan dunia.
Sementara itu gletser dan lapisan es yang mencair dapat menaikkan
seluruh permukaan air samudra dan merendam daerah dataran.
Akibat selanjutnya dari perubahan iklim hingga tahun 2050,
diperkirakan, ketersediaan pangan tak mencukupi sehingga penderita
kelaparan dapat mencapai 600 juta orang; perluasan areal banjir
mengorbankan 100-250 juta orang; kekeringan berkepanjangan membuat
kekurangan air diderita 3,5 milyar orang lebih; dan meningkatnya Malaria
hingga mencapai 300 jiwa orang. Krisis pangan yang sekarang melanda
dunia disebabkan diantaranya oleh perubahan iklim yang drastis sehingga
mengakibatkan gagal panen. Demikian halnya dengan perluasan areal banjir
dan kekeringan.
Indonesia adalah diantara negeri-negeri yang mengalami dampak
terparah dari rangkaian krisis lingkungan ini. Penggundulan hutan yang
terus meningkat demi perluasan industri pertambangan dan kelapa sawit,
pencemaran udara di kota-kota besar akibat membludaknya pemakaian
kendaraan bermotor, gedung-gedung raksasa yang membabat areal hijau, dan
seterusnya, menambah deretan kejahatan terhadap lingkungan yang
dampaknya kembali kepada manusia.
Solusi kapitalisme sebatas demi kelanjutan akumulasi
Para kapitalis bukannya tak menyadari dampak kerusakan lingkungan
ini. Namun semua solusi yang mereka tawarkan tak mau menyentuh sumber
masalah, yaitu penggunaan energi fosil dan watak eksploitatif kapital
terhadap alam. Sehingga sekian banyak konferensi mengenai penyelamatan
lingkungan yang dijalankan, hanya menjadi agenda formalis para pemilik
modal yang menjadi pelaku pengrusakan alam paling besar. Bahkan
munculnya konferensi-konferensi internasional tersebut juga berangkat
dari situasi alam yang sudah tidak kondusif lagi bagi perkembangan
masyarakat, yang artinya tak kondusif juga bagi perkembangbiakan modal
mereka.
Diantara konferensi-konferensi yang penting disebut disini adalah
Konferensi Kelautan Dunia (World Ocean Conference/WOC) di Manado, Mei
2009, yang membahas isu kelautan dalam perubahan iklim, seperti
penyelamatan keanekaragaman hayati laut (terumbu karang salah satunya);
KTT Perubahan Iklim ke-15 di Kopenhagen, Denmark, yang menargetkan
kesepakatan negara-negara mengurangi emisi gas kaca, skema penjualan
karbon untuk mengurangi kerusakan hutan, dan bantuan dana untuk mitigasi
perubahan iklim di negara berkembang; Konvensi Stockholm, yang
menangani penanganan limbah dan bahan kimia beracun, menghadirkan 140
negara di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali,
Indonesia; pertemuan Simultaneous Extraordinary Conference of the
Parties (EX COPs) di Basel, Rotterdam; dan terakhir, pertemuan ke-11
Special Session of The UNEP Governing Council/Global Ministerial
Environment Forum (GC-UNEP) yang diselenggarakan pada tanggal 24-26
Februari di Bali International Conference Centre (BICC), dengan agenda
sama yaitu membahas Pembangunan Berkelanjutan dan International
Environmental Governance; Ekonomi Hijau; Biodiversity dan ekosistem.
Namun semua itu masihlah formalitas, kalau bukan tambal sulam.
Sebetulnya sudah ada Protokol Kyoto yang merupakan kebijakan sah PBB
melalui UNFCCC untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 5,2%
dibandingkan level tahun 1990 bagi 37 negara industri maju dan transisi
(yang dikenal sebagai negara Annex 1). Pengurangan rata-rata emisi dari
enam gas rumah kaca—karbondioksida, metan, nitrous oxide, sulfur
heksafluorida, HFC, dan PFC—dihitung sebagai rata-rata selama masa lima
tahun, antara 2008-2012. Target pengurangan nasional berkisar 6% untuk
Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan
yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia.
(Sumber Wikipedia).
Namun, negara-negara seperti Amerika Serikat, China dan India sebaga
negara industri penyumbang emisi tidak bersedia meratifikasi protokol
tersebut. Alih-alih meratifikasi untuk mengurangi emisi, negara-negara
semacam ini justru memanfaatkan beberapa mekanisme fleksibel di dalam
Protokol, seperti perdagangan emisi, Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)
dan Implementasi Bersama (JI) yang membolehkan negara-negara Annex I
memenuhi pembatasan emisi buangnya dengan membeli kredit pengurangan
emisi gas rumah kaca dari negara lain, melalui pertukaran uang, proyek
mengurangi emisi di negara-negara non Annex I, dari negara-negara Annex I
lainnya, atau dari negara-negara Annex I dengan batas berlebih.
Padahal, menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
sebuah badan ilmiah antar-pemerintah dibentuk oleh UNEP (Program
Lingkungan PBB) dan WMO (Organisasi Meteorological Dunia) untuk memberi
masukan dan penilaian menyangkut perubahan iklim, stabilisasi iklim agar
mencapai level yang paling tidak berbahaya menghendaki puncak emisi gas
rumah kaca dunia maksimal sebelum 2015 dan berkurang 50 sampai 85%
antara sekarang dan tahun 2050, dibandingkan tahun 2000. Ini
menunjukkan, sebenarnya, pengurangan emisi gas rumah kaca tak bisa
ditunda-tunda lagi untuk dilakukan.
Namun justru yang berkembang sebaliknya. Sebuah pertemuan pemerintah
negara-negara penyumbang emisi gas terbesar di Bali, tahun 2007,
melahirkan kesepakatan-kesepatan penipu, kalau tak dibilang kompromi.
Daripada mengurangi emisi karbonnya, mereka malah menuntut solusi bahu
membahu dari dunia ketiga yang juga penyumbang kerusakan hutan. United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui
programnya Reducing Emissions from Deforestations and Degradations,
(REDD) berharap laju konsentrasi CO2 yang semakin banyak akan teratasi
jika kerusakan hutan di negara-negara berkembang berangsur-angsur
dihentikan, karena hutan mampu menyumbangkan oksigen terbesar. Di sisi
lain, negara-negara tersebut dianggap negara dengan tingkat kebakaran
hutan dan alih fungsi lahan yang cukup tinggi. Namun, pendanaan untuk
penanaman kembali hutan yang rusak diperkirakan membutuhkan investasi
sebesar US$ 13 – 33 milyar setiap tahunnya agar dapat mengurangi
setengah emisi gas rumah kaca, melalui hutan, hingga tahun 2030.
Dari mana dana tersebut berasal? Apakah dibebankan langsung pada
negara berkembang yang mempunyai deforestasi terbesar? Jika ya, tak
mampu negara berkembang mengeluarkan dana sebanyak itu tiap tahunnya.
Begitu juga ketika investasi ini dibebankan pada negara maju yang tentu
tak akan konsisten menjalankannya karena hanya akan menambah biaya
produksi kembali—atau tentu saja bisa diambil dari dana perdagangan
emisi. Ditambah lagi ketika hambatan peraturan pemanfaatan lahan tidak
ditegakkan dengan baik. Penyuntikan dana REDD ke dalam areal seperti itu
hanya akan memperbesar terjadinya korupsi, eksploitasi, dan
pelanggaran hukum. Selain itu, melegitimasi kebijakan REDD di sisi lain
juga berarti melegitimasi para penyebab polusi untuk terus melakukannya
asal membayar sejumlah kompensasi melalui deforestasi.
Para ilmuwan menyadari kemendesakan krisis lingkungan hidup ini.
Namun, sebagian mereka gagal melihat benang berah antara penyelamatan
lingkungan hidup dengan sistem kapitalisme. Keterhubungan tersebut tidak
diperhitungan dalam pertemuan para ahli lingkungan. Dari berbagai
pertemuan dan konferensi yang disebutkan diatas, tak sedikit ahli
lingkungan dan LSM Lingkungan yang terlibat, namun, di dalam ajang-ajang
tersebut mereka tidak dapat mempertahankan posisi tawar lingkungan
dengan baik, bahkan tak jarang menjadi berbalik posisi.
Para ahli lingkungan hidup kerap terseret ke dalam ring
penyelesaian-penyelesaian kompromi dengan para pemilik modal yang
berbalut penghijauan. Semua dampak negatif dari eksploitasi alam selama
puluhan tahun belakangan dijanjikan untuk dihijaukan kembali melalui
menanaman hutan, pengurangan emisi, kampanye “go green” dan CSR pro
lingkungan, produk-produk ‘hijau’, dst. Namun ahli-ahli lingkungan
tersebut telah berbohong pada dirinya sendiri karena kapitalisme tak
akan pernah melaksanakan semua upaya tersebut dengan konsisten.
Tidak akan mungkin sistem yang mendewakan keuntungan besar-besaran
mau memenuhi dan menjalankan upaya-upaya yang moderat karena akan
menambah biaya produksi kapitalis itu sendiri. Buktinya, Amerika Serikat
sebagai negara penyumbang Gas Rumah Kaca terbesar di dunia tidak mau
meratifikasi Protokol Kyoto, padahal AS penyumbang pemanasan global
terbesar di dunia. Akibat pola konsumsi di AS telah meningkatkan emisi
gas rumah kaca 16,8%, mencapai rata-rata 20 sampai 23 ton CO2
per-orang. Ini merupakan 9 kali lebih dari dari penghuni rata-rata
“Dunia Ketiga”, dan 20 kali lebih daripada rata-rata penghuni Sub-Sahara
Afrika. Negara penyumbang selanjutnya adalah India dan Cina, dan
keduanya juga tak mau meratifikasi Protokol Kyoto, dengan alasan akan
mengalami keguncangan ekonomi.
Berbanding terbalik dengan tindakan para pemodal yang berkedok
penyelamatan lingkungan, justru Evo Morales berinisiatif membangun
kesepakatan-kesepatan bersama dengan negara lain yang ingin melanjutkan
perjuangan perubahan iklim, diluar Protokol Kyoto mengenai Konvensi
Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Melalui Deklarasi Universal
Hak-hak Ibu Pertiwi (Declaration of the Rights of Mother Earth) dalam
pertemuan People’s World Conference on Climate Change and the Rights of
Mother Earth di Cochabamba-Bolivia, 19-22 April 2010, terdapat dua
langkah penting yang patut dicatat. Pertama, menyelenggarakan referendum
dunia menyangkut perubahan iklmi, yakni menanyakan kepada rakyat untuk
memutuskan level pengurangan emisi yang dibutuhkan dari negeri-negeri
maju dan dana yang harus mereka bayar kepada negeri-negeri berkembang,
termasuk kebutuhan untuk mengganti sistem kapitalis. Kedua, rencana
untuk mendirikan International Climate and Environmental Justice
Tribunal dengan kapasitas hukum terhadap negara-negara, industri, dan
orang-orang “yang dengan (memberi) komisi maupun kesengajaan
mengkontaminasi dan memprovokasi perubahan iklim”.
Peserta menuntut negara maju melakukan pengurangan emisi secara
kuantitatif yang pengembalian konsentrasi gas rumah kaca sampai 300 ppm.
Poin paling penting adalah menekankan perlunya tindakan mendesak untuk
mencapai tuntutan ini dengan berperan aktif melibatkan dukungan
masyarakat dan mobilisasi gerakan rakyat untuk menghentikan kebohongan
dari solusi negara-negara kapitalis atas krisis lingkungan hari ini
(seperti penolakan solusi REDD dalam pertemuan tersebut.)
Menurut penulis progresif Kanada, Naomi Klein, inilah “kelahiran
suatu pergerakan iklim yang baru”.
2. Perubahan sistem
Perjuangan ekologi sudah seharusnya merupakan perjuangan melawan
sistem ekonomi kapitalisme dan reorganisasi radikal terhadap cara
produksi kapitalisme. Itulah satu-satunya jalan penyelamatan lingkungan
yang berkesinambungan.
Jelas sudah segala fakta yang ada disekelilingi kita. Memilih jalan
tengah melalui konsep good will dengan maksud agar terjadi keseimbangan
antara pertumbuhan ekonomi dengan biaya lingkungan yang masih bisa
ditanggung, adalah omong kosong. Kerusakan alam merupakan konsekuensi
mutlak atas sistem modal yang tak memikirkan kemanusiaan dan kelestarian
alam.
Harapan solusi satu-satunya kini ada di tangan gerakan politik
lingkungan dan gerakan sosial politik anti kapitalisme. Dibutuhkan
perluasan kesadaran bahwa kapitalismelah penyebab kerusakan lingkungan,
yang membuat jutaan manusia mati sia-sia diatas reruntuhan tanah
longsor, timbuhan kayu dari banjir bandang, kelaparan, sakit, badai
akibat perubahan iklim, dan lainnya. Juga dibutuhkan perluasan pemahaman
bahwa kesejahteraan tak mungkin didapat untuk jangka waktu yang lama
jika lingkungan tak segera direhabilitasi.
Penyadaran penting dilakukan agar gerakan lingkungan dapat menyatu
dengan gerakan rakyat untuk kesejahteraan dan keadilan. Rakyat perlu
memahami bahwa persoalan lingkungan adalah persoalan masa depan anak
cucu, generasi mendatang. Dalam merumuskan gagasan tersebut diperlukan
wadah konsolidasi dari seluruh elemen masyarakat, agar persoalan
lingkungan bukan hanya menjadi pembicaraan disekitar gerakan lingkungan
namun juga menjadi pendiskusian dikalangan kaum gerakan lainnya.
Menyangkut pengganti sistem kapitalisme yang jahat ini,
prinsip-prinsip sosialisme sebagai wujud reorganisasi ekonomi dan
produksi secara radikal yang mengabdi pada kebutuhan dan
dikontrol-dijalankan oleh mayoritas rakyat, adalah solusi yang tepat.
Namun kita juga tak boleh menutup mata sekaligus belajar dari kegagalan
sosialisme di masa lalu yang tidak memperhitungkan dampak lingkungan
dari aktivitas perencanaan ekonomi. Mulai saat ini, lingkungan sama
pentingnya dengan kemanusiaan. Atas dasar inilah wacana ekososialisme
mulai marak dibicarakan kalangan kiri sebagai salah satu karakter
sosialisme di abad 21 ini. Kita menginginkan agar alam dikelola melalui
cara yang demokratis, tidak anarkis sekadar mengejar pertumbuhan dan
melipatgandakan keuntungan. Ketika alam dipelihara secara demokratis,
bukan hanya segelintir orang yang mendapat manfaat, melainkan seluruh
umat manusia, generasi masa depan kita; anak cucu kita.